Daisypath Vacation tickers

Jumat, 21 Juni 2013

Dua Wajah Hari

Namanya Rembulan,

Salah satu perempuan bodoh yang menganggap cinta pasti berakhir manis, bahkan ketika pil pahit ketidaksetiaan terpaksa ditelannya.

Satu hari kutemukan sepucuk surat berwarna merah hati, ternyata itu surat dari kekasihmu yang lain. Kekasih yang tak diungkap hanya seperti jejak embun yang muncul saat pagi hendak menjelang. Tak diakui namun kita tahu dia ada.

Aku memilih menyelubungi wajahku dengan selimut awan, pura-pura bahwa kamu nanti akan berubah. Setelah mungkin 1, 2 malam atau mungkin dalam hitungan windu. Aku bersamamu terlalu lama, ingatkah kau kalau aku menemanimu dengan setia selama ini bahkan ketika wajahku mejadi bulat aku berjalan sedekat mungkin denganmu lautan. Menemani saat suka, duka, saat angin memporak porandakan wajah kita aku masih tetap menemanimu.

Aku memilih menjadi setia, mungkin kamu akan melihatnya dan cukup menghargainya kemudian berubah. Aku memilih untuk menjadi perempuan bodoh dimata sebagian manusia yang lain.


Namaku Langit,

Warna hatiku hari ini kelabu, seperti warna awan yang masih menyimpan butir-butir air yang disimpan untuk hari yang panas.

Aku mengirimkan suratku kemarin kepada lautan biru, dia masih diam saat kutanyakan keberadaan rembulan sampai akhirnya rembulan mulai menyadari keberadaanku dan kita sempat bertemu disuatu pagi ditemani hujan gerimis.

Lautan sore tahukah kamu betapa aku mencintaimu, tahukan kamu bahwa ketika aku mulai menyadari aku telah dibodohi aku sempat memilih membutakan mataku. Tahukah arti segalanya yang telah kuberikan kepadamu menyisakan sejuta panah tajam yang menusuk dagingku, hatiku, jiwaku.

Tahukah kamu sempat sedetik aku berpikir menyeberangi jembatan perbedaan kita, lihatlah betapa bodohnya aku. Mungkin rembulan merasakan sakit karena mencintaimu dengan setia, sakit yang serupa tapi tak sama bagiku.

Aku berusaha untuk tahu diri tanpa kau mengusirku pergi, itu menyakitkan lautan sore.

Sekarang aku tahu wajahmu, sekarang aku tidak bertanya lagi apa isi kedalaman hatimu karena pada akhirnya aku bahkan tidak tahu apakah kata "Aku mencintaimu" yang kau ucapkan kemarin benar untukku.

Apakah sebenarnya memilikiku hanya akan jadi kebanggan yang akan kau pamerkan kepada teman-temanmu sebagai tambahan koleksimu.

Aku masih perempuan bodoh ternyata hari ini, yang menangis saat dirimu pergi. Menangisi karena dibodohi, meski berjanji pada hatiku sendiri aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu lagi.

Berjanji jika kelak kita bertemu lagi wajahku tidak berwarna kelabu, namun biru ditemani matahari yang entah ada dimana saat ini. Aku menunggu dia datang, mengusir semua awan mendung ini dan aku percaya kehangatannya akan menghapus jejak badai yang kamu tinggalkan disini.

Aku menuliskan ini dengan tinta berwarna merah darah seperti luka yang kamu tinggalkan, aku berusaha memaafkanmu. Berdamai dengan jiwaku, melepaskan kamu pergi bahagia dengan rembulan atau entah siapa.

Walau doaku belum setulus itu sebenarnya untuk membiarkan kamu bahagia, bukan karena aku berharap kamu kembali bersamaku. Semua hanya karena luka yang kau tinggalkan terlalu dalam, nyaris membunuhku dalam malam.

Dan jika namamu masih tertulis disini kamu tahu aku mengirimkannya untukmu, aku pastikan kamu tahu.



** Langit**





Kamis, 09 Mei 2013

Menunggu





Sesekali mataku melirik pada ponsel yang tak kunjung menunjukan tanda kehidupannya, entah apa yang aku tunggu.

Apakah pesan-pesan singkatmu yang sekedar bertanya "Selamat malam sayang" lucu sekali terdengarnya. Menjadi lucu karena kamu bukan lagi kekasihku, menjadi lucu karena seperti kebiasaan-kebiasaan yang terlalu lama melekat sehingga kehilangan maknanya.

Dan ketika malam berlalu, aku masih menunggu..